Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Dukung kami

Perlawanan Terhadap Praktek Imperialisme Di Sumatera






Di Sumatera terjadi Perang Paderi. Perang ini dilatarbelakangi
konflik antara kaum agama dan tokoh-tokoh adat Sumatra Barat. Kaum
agama sebagai pembaharu yang disebut kaum Paderi berusaha untuk mengajarkan agama Islam kepada warga sambil menghapus adatistiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian,
gerakan paderi bertujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam di
wilayah Sumatra Barat serta menentang aspek-aspek budaya yang
bertentangan dengan aqidah Islam.

Tujuan ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena kaum
adat tidak ingin kehilangan kedudukannya serta adat-istiadatnya, dan
menentang ajaran kaum Paderi. Perbedaan pandangan inilah yang
kemudian menyebabkan perang saudara dan mengundang kehadiran
kekuatan Inggris dan Belanda.
Pertentangan ini kemudian berkembang menjadi perang saudara,
yaitu antara kaum paderi dengan kaum adat. Kaum Adat yang terdesak
kemudian meminta bantuan kepada Inggris yang sejak 1795 telah menguasai Padang dan beberapa daerah di daerah pesisir barat sumatera
setelah direbut dari Belanda. Adapun golongan agama pada saat itu telah
menguasai daerah pedalaman Sumatera Barat dan menjalankan
pemerintahan berdasarkan agama Islam.
Pada 1819, Belanda menerima Padang dan daerah sekitarnya dari
Inggris. Sementara itu, golongan Adat meminta bantuan kepada Belanda
dalam menghadapai golongan Paderi. Pada bulan Februari 1821, kedua
belah pihak menandatangani perjanjian. Seusai perjanjian itu, mulailah
Belanda mengerahkan pasukannya untuk melakukan penyerangan
kepada kaum Paderi.
Pertempuran pertama antara kaum Paderi dan Belanda terjadi pada
bulan April 1821 di daerah Sulit Air, dekat Danau Singkarak, Solok.
Belanda kemudian berhasil menguasai daerah Pagarruyung, bekas
kedudukan raja-raja Minangkabau. Namun, Belanda gagal merebut
pertahanan Paderi yang ada di Lintau, Sawah Lunto dan Kapau,
Bukittinggi. Untuk menyiasati hal ini Belanda mengajak pemimpin kaum
Paderi, Tuanku Imam Bonjol berunding pada tahun 1824. Namun,
perjanjian ini kemudian dilanggar oleh Belanda.
Ketika terjadi Perang Diponegoro, pihak Belanda menarik sebagian
besar pasukannya dari Sumatra Barat dan untuk sementara waktu
menunda penyerangannya pada kaum Paderi. Mereka hanya berjagajaga daerah-daerah yang telah mereka kuasai. Setelah perang
Diponegoro berakhir, Belanda kembali memusatkan perhatiannya ke
daerah Sumatra Barat dengan target menangkap Tuanku Imam Bonjol.
Melalui serangan besar-besaran dan gencar dari Belanda, akhirnya
kota Bonjol jatuh ke tangan Belanda pada bulan September 1832.
Namun, pada tanggal 11 Januari 1833, kota tersebut dapat direbut
kembali oleh kaum Paderi. Pertempuran berkobar di mana-mana dan
pada saat inilah sebagian dari golongan Adat berbalik melawan Belanda.

Hal ini mencemaskan pihak Belanda sehingga memaksa mereka memerintahkan Sentot Alibasha Prawirodirjo, bekas panglima perang
Diponegoro, untuk memerangai Paderi. Sentot Alibasha Prawirodirdjo
yang tidak mau memerangi bangsanya sendiri akhirnya berbalik bekerja
sama dengan Kaum Paderi menyerang Belanda.
Pada tanggal 25 Oktober 1833, Belanda mengeluarkan maklumat
yang disebut Plakat Panjang. Isinya mengajak penduduk Sumatra Barat
untuk berdamai dan menghentikan perang. Namun, pada bulan Juni 1834
Belanda kembali melancarkan serangan kepada kaum Paderi yang
berlangsung selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Pada tanggal 16
Agustus 1837, pertahanan Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam
Bonjol dan para pengikutnya berhasil lolos. Pada tanggal 25 Oktober
1837, Tuanku Imam Bonjol tiba di Palupuh untuk berunding. Namun,
Belanda berkhianat dengan menangkap Tuanku Imam Bonjol dan
membuangnya ke Cianjur, Ambon, dan terakhir ke Lota dekat Manado.
 Ia
wafat dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Tomohon, Sulawesi Utara.
Di Aceh, rakyat Aceh melakukan perlawanan terhadap Belanda
sehingga menimbulkan Perang Aceh. Seperti halnya zaman Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) Kerajaan Aceh mengalami kejayaan kembali
pada abad ke 18 sampai abad ke-19. Dalam hubungannya dengan
kekuatan Barat dan negara tetangga, Aceh mampu memainkan posisi
strategis dan kemampuan diplomatiknya yang baik sehingga dihormati
oleh kerajaan-kerajaan lainnya, termasuk bangsa Barat.
Karena kemampuan tersebut, kedudukan Aceh dihormati oleh dua
kekuasaan kolonial yang berada di sekitar wilayah Aceh, yaitu Inggris dan
Belanda melalui Traktat London pada 1824. Namun, sejak Terusan Suez
dibuka, Aceh yang memiliki kedudukan strategis di Selat Malaka menjadi
incaran kekuatan Barat. Untuk mengantisipasi hal tersebut pada 1871
Inggris dan Belanda menandatangani Traktat Sumatra.
Melihat gelagat ini Aceh mulai mencari bantuan dan dukungan ke
luar negeri. Kegiatan diplomatik ini mulai mencemaskan Belanda.
Belanda yang merasa takut disaingi mulai menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda di nusantara. Kerajaan Aceh menolak tuntutan
Belanda tersebut. Penolakan ini mendorong Belanda untuk mengirimkan
pasukannya ke Kutaraja, ibu kota Kerajaan Aceh pada April 1873.
Pasukan tersebut dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R. Kohler. Namun,
usaha untuk menguasai Aceh mengalami kegagalan, bahkan Mayor
Jenderal Kohler tewas di depan Masjid Raya Aceh.
Serangan kedua dilakukan Belanda pada bulan Desember 1873
dan berhasil merebut istana kerajaan Aceh. Pasukan Belanda yang
dipimpin oleh Letnan Jenderal van Swieten memproklamirkan bahwa
Kerajaan Aceh berhasil dikuasai. Pernyataan ini tidak terbukti karena

kenyataannya Aceh tidak jatuh dan daerah-daerah di luar Kutaraja masih
dikuasai oleh para pejuang Aceh. Walaupun telah dilakukan serangan
secara militer, Aceh secara keseluruhan belum dapat ditaklukan. Oleh
karena itu, Belanda mengirimkan Snouck Hurgronyeseorang ahli kajian
Islam yang ditugasi untuk menyelidiki masyarakat Aceh.
Pada 1891, Teuku Cik Ditiro meninggal. Selanjutnya, pada 1893,
Teuku Umar menyatakan menyerah kepada Belanda. Namun, pada
Maret 1896, ia kabur dan bergabung kembali bersama para pejuang
dengan membawa sejumlah uang dan senjata. Pada 11 Februari 1899,
Teuku Umar akhirnya tewas di Meulaboh.

Perjuangan Teuku Umar dilanjutkan oleh istrinya yang bernama
Cut Nyak Dhien. Bersama para pengikutnya ia melakukan perlawanan
terhadap Belanda secara gerilya di hutan-hutan. Pada November 1902,
Belanda menangkap dua orang isteri Sultan Aceh dan anak-anaknya.
Belanda kemudian memerintahkan Sultan untuk memilih menyerah atau
keluarganya akan dibuang. Oleh karena itu, pada 10 Januari 1903, Sultan
Daudsyah menyerah. Demikian pula Panglima Polim dan beberapa
hulubalang yang menyerah pada September 1903.

Belanda menganggap dengan menyerahnya Sultan Aceh, perlawanan rakyat telah selesai. Namun, perkiraan ini salah. Ternyata perlawanan rakyat masih terus berlangsung secara gerilya. Pada 1905, Cut
Nyak Dhien berhasil ditangkap di hutan. Adapun pejuang wanita lainnya,
yaitu Cut Nyak Meutia gugur pada 1910. Baru pada 1912 Perang Aceh
benar-benar berakhir.

Posting Komentar untuk "Perlawanan Terhadap Praktek Imperialisme Di Sumatera "