Shalat Qobliyah Jum’at ?
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari Kiamat.
Tidak
ada dalil shahih yang menunjukkan adanya sholat qobliyah Jum’at.
Sedangkan sholat Tathowwu’ secara mutlak, ada dalil yang menunjukkan
akan hal itu.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَه ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Barangsiapa
mandi kemudian menghadiri sholat Jum’at, lalu mengerjakan sholat
(sunnah) sebanyak yang ia mampu, selanjutnya diam hingga imam selesai
berkhutbah lalu mengerjakan sholat bersamanya, maka akan diampuni
dosanya antara Jum’at dengan Jum’at berikutnya, dan ditambah tiga hari.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 857)
Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ, وَمَسَّ مِنْ طِيْبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ، ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ، فَلَمْ يَتَخَطَّ أَعْنَاقَ النَّاسِ، ثُمَّ صَلَّى مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاَتِهِ؛ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ جُمُعَتِهِ الَّتِي قَبْلَهَا
“Barangsiapa
mandi hari Jum’at dan memakai pakaian terbaik yang ia miliki serta
memakai wangi-wangian jika ia memilikinya, kemudian menghadiri sholat
Jum’at tanpa melangkahi pundak orang-orang, lalu mengerjakan sholat
(sunnah) sebanyak yang ia mampu, dan diam jika imam telah datang sampai
selesai dari sholatnya, maka itu akan menjadi kaffarah (penghapus dosa,
pen) baginya atas apa yang terjadi antara hari itu dan hari Jum’at
sebelumnya.”
Perawi hadits ini mengatakan, “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Dan ditambah tiga hari.” Dia juga mengatakan, “Sesungguhnya (balasan)
kebaikan itu sepuluh kali lipatnya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no.
343. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam Shahiih Sunan Abi Dawud, I/70).
Pada hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kemudian mengerjakan sholat (sunnah) sebanyak yang ia mampu” menunjukkan
bolehnya mengerjakan sholat sunnah sebanyak mungkin tanpa ada batasan,
hingga imam hadir. Adapun sholat sunnah qobliyah Jum’at (yaitu setelah
adzan), amalan itu tidak ada dasarnya sama sekali.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama
sekali tidak pernah melaksanakan sholat sunnah setelah adzan Jum’at.
Tidak ada seorang sahabat pun yang meriwayatkan hal itu dari beliau.
Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adzan sholat Jum’at dikumandangkan setelah beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas mimbar. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas mimbar, barulah Bilal mengumandangkan adzan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dua kali. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai berkhutbah, Bilal mengumandangkan iqomah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami mereka sholat.
Tidak mungkin mengerjakan sholat (sunnah) setelah adzan, baik oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammaupun seluruh kaum muslimin yang sholat Jum’at bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang sahabat pun yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat sunnah di rumahnya sebelum keluar untuk mengerjakan sholat Jum’at. (Ensiklopedi Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an dan As Sunnah, terjemahan dari Kitab Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al Muyassarah fii Fiqhil Kitaab was Sunnah al-Muthah-harah, hal. 726).
Demikianlah
yang diriwayatkan dari para Sahabat. Jika mereka tiba di masjid pada
hari Jum’at, niscaya mereka langsung melaksanakan sholat sunnah sejak
pertama masuk sesuai dengan kemampuuannya. Di antara mereka ada yang
sholat sepuluh roka’at, ada yang dua belas roka’at, ada yang sholat
delapan roka’at, dan ada juga yang lebih sedikit dari itu. (Ensiklopedi Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an dan As Sunnah, hal. 726).
Ibnul Qoyyim rahimahullah di dalan kitabnya, Zaadul Ma’ad, mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar
dari rumahnya (untuk menghadiri sholat Jum’at). Ketika beliau menaiki
mimbar, Bilal pun memulai adzan Jum’at. Setelah Bilal selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berkhutbah tanpa di sela (oleh perbuatan lainnya). Inilah (perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang disaksikan oleh para Sahabat secara langsung. Lalu kapankah mengerjakan sholat sunnah?
Barangsiapa
menduga bahwa mereka semua bangkit dan sholat sunnah dua roka’at
setelah Bilal mengumandangkan adzan, maka ia adalah orang ang paling
bodoh tentang As-Sunnah.” (Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah, I/432)
Ahmad bin Abdul Halim Al Harrony rahimahullah mengatakan,
“Jumhur ulama sepakat tidak ada sholat sunnah (sebelum sholat Jum’at)
yang ditentukan waktu pelaksanaannya dan bilangan roka’atnya. Karena
semua itu harus ditetapkan berdasarkan sabda dan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah mensunnahnya sama sekali (yakni sholat qobliyah Jum’at), baik berdasarkan ucapan ataupun perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah madzhab Malik, Asy Syafi’i, dan sebagian besar pengikutnya serta pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad”. (Majmu’ Fatawa, 1/136, dan Majmu’ah Ar Rosa’il Al Kubro, 2/167-168)
Catatan:
Sholat qobliyah jum’at tidak ada tuntunannya, baik dikerjakan setelah Adzan pertama (pada masjid dengan dua adzan Jum’at) maupun sebelum adzan sambil menunggu datangnya imam.