Baseball dan Psikologi Dendam
Dalam sebuah studi baru, fans baseball menunjukkan toleransi moral tinggi untuk sebuah bentuk balas dendam yang tidak lagi dipraktekkan dalam kebanyakan masyarakat modern: membalas rekan tim yang telah dipukul oleh seorang pemukul yang ditujukan pada pemukul lawan yang tidak terlibat. Penelitian menunjukkan kalau sistem retribusi perwakilan tersebut, ditemukan di sepanjang sejarah, mungkin tidak tergantung pada pemberian tanggung jawab moral dibaliknya.
Psikolog
Universitas Brown, Fiery Cushman, menonton baseball untuk meneliti
moral. Sebagai seorang peneliti yang mempelajari pertimbangan moral,
Cushman menyadari kalau target niatan dari seorang pemain tidak bersalah
untuk membalas dendam pemukul dapat memberikan pengecualian atas
kebudayaan Amerika, bahkan bila seluruh game adalah kelembagaan
nasional.
Cushman dan rekannya A.J.
Durwin dari Universitas Hofstra dan Chaz Lively dari Universitas Boston
mempertanyakan suatu kejadian di Stadium Yankee dan Fenway Park: seorang
pelempar (pitcher) Chicago Cubs secara sengaja melempar dan mengenai pemukul (batter) dari St Louis Cardinal. Satu putaran (inning) kemudian, pelempar Cardinal membalas dengan melempar dan mengenai pemukul dari Cubs yang sebelumnya tidak terlibat.
Dalam studi terbaru mereka yang diterbitkan dalam Journal of Experimental Social Psychology, para peneliti melaporkan kalau 44 persen fans yang mereka survey memberikan persetujuan moral bagi pelempar Cardinal.
Para peneliti menyebut sistem balas dendam eksak dengan mentargetkan rekan tim sebagai “hukuman perwakilan”
dan mencatat kalau ia telah muncul dalam banyak kebudayaan sepanjang
sejarah. Kebudayaan harga diri tersebut menyatakan kalau diperbolehkan
membunuh saudara seseorang untuk membalas dendam saudara sendiri –
seperti dalam contoh kasus berdarah Hatfields dan McCoys.
“Tidak
boleh ada yang menyimpulkan kalau ini berarti hukuman perwakilan
dipandang dapat diterima dalam kebudayaan Amerika,” kata Cushman.
“Justru sebaliknya, apa yang membuat hal ini mengesankan adalah
pengecualiannya. Kami mencoba menjelaskan pengecualian ini.”
Studi ini memeriksa apakah kebudayaan balas dendam baseball dapat mengungkapkan praktek budaya balas dendam secara lebih luas.
Pengecualian Baseball
Dalam
pertanyaan survey mereka, Cushman, Durwin, dan Lively menguliti
lapisan-lapisan pemikiran fan dan menemukan data yang menunjukkan kalau
hukuman perwakilan lebih merupakan norma sosial ketimbang produk
penalaran moral yang berbeda.
Dalam
survey pertama pada 145 fans pada kedua lokasi, mereka bertanya separuh
mengenai skenario balas dendam antara Cubs dan Cardinals (yang disetujui
44 persen), dan meminta pada separuhnya lagi untuk menilai situasi
dimana Cardinal mengarahkan balas dendamnya bukan kepada Cubs, namun pad
atim yang berbeda pada pertandingan selanjutnya. Jauh lebih sedikit
fans (walaupun masih 19 persen) yang menyetujui hal tersebut.
Dalam
eksperimen kedua, mereka meminta pada 78 fans diluar Yankee Stadium
untuk menilai situasi asli atau membalas pada pelempar yang melempar
pada inning sebelumnya. Dalam kasus tersebut 39 persen fan masih
menyetujui metode balas dendam asli, namun 70 persen menyetujui metode
balas dendam dengan membalas pelempar yang sesungguhnya.
Eksperimen
ketiga, dimainkan pada 79 fans di Fenway Park, namun mengubah
pertanyaan dalam konteks favorit Red Sox. Dalam satu kasus, seorang
pelempar Red Sox dinyatakan membalas dendam atas pelemparan terhadap
rekannya. Dalam kasus ini, 43 persen fans Red Sox menyetujui moralitas
pemain mereka sendiri dilempar atas dasar balas dendam, namun 67 persen
menyetujui pelempar mereka melakukan balas dendam sejenis pada tim lain.
Dalam
eksperimen terakhir, dilakukan pada 131 fan baseball dalam grup diskusi
online, Cushman, Durwin, dan Lively mencoba mengetahui pemahaman fans
mengenai tanggung jawab moral, serta pendapat mereka tentang moralitas
keseluruhan dari balas dendam. Dalam sampel ini, 61 persen menyetujui
balas dendam, seperti dalam kasus Cubs dan Cardinals (semakin tinggi
fanatisme mereka pada baseball, semakin besar kemungkinan mereka
menyetujuinya). Walaupun kesetujuan yang tinggi untuk balas dendam
perwakilan, hanya 18 persen dari fans yang disurvey mengatakan penerima
pemukulan balasan bertanggung jawab secara moral untuk pemukulan
pertama. Sementara itu, 92 persen fans menyatakan pelempar yang melempar
pertama adalah yang bertanggung jawab secara moral.
“Penerima Tidak Ada Hubungannya Dengan Dendam ini”
Jika
mayoritas fans menyadari tanggungjawab individual pada situasi dimana
pelempar pertama yang melempari dan bukan pemukul terakhir yang harus
dihukum, mengapa dua pertiga (dalam eksperimen tim lokal) menyetujui
pemukul terakhir untuk dilempar? Pertanyaan yang sama diajukan pada
sistem keadilan demikian yang hadir di Islandia sekitar abad ke -10 atau
di Montenegro satu abad yang lalu, kata Cushman. Hukuman perwakilan
juga mencirikan beberapa kasus kekerasan berbasis gang dan amuk massa.
Peneliti sebelumnya melihat adanya korelasi antara sistem demikian
dengan penegakan hukum negara.
Pengecualian
budaya yang dibuat masyarakat Amerika pada baseball, bahkan kalau
mereka mengakui siapa yang bersalah dan yang bukan, menurut para
peneliti, menunjukkan kebudayaan yang melakukan retribusi perwakilan
dapat dipahami sebagai lebih banyak dikendalikan oleh kebutuhan
kontekstual atau tradisi, daripada cara menentukan tanggung jawab moral
yang lebih fundamental. Motivasi nya adalah harga diri.
“Hal ini dengan indah ditangkap oleh kutipan dari film Clint Eastwood Unforgiven:
‘Deserve’s got nothing to do with it,’” kata Cushman. “Gagasannya
adalah kita harus melindungi diri kita sendiri, kita harus melakukan
sesuatu untuk merespon atas tindakan ini. Orang yang menjadi target kita
tidak bertanggung jawab secara moral namun tuntutan praktis dari
situasi sedemikian hingga kita harus melakukan sesuatu dan inilah dia.”
Dalam
hal demikian baseball adalah permain atletisisme, strategi, masyarakat,
dan hukuman kolektif tanpa teori tanggung jawab moral dibaliknya.