Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Dukung kami

Observatorium Infra Merah NASA Mengukur Ekspansi Alam Semesta



 "Baru lebih dari satu dekade yang lalu, untuk menggunakan kata 'akurasi' dan 'kosmologi' dalam satu kalimat yang sama merupakan hal yang mustahil, dan ukuran serta usia alam semesta belum diketahui dengan lebih baik daripada sebuah faktor 2."

Dengan menggunakan Teleskop Ruang Angkasa Spitzer milik NASA, para astronom mengumumkan pengukuran yang paling akurat terhadap konstanta Hubble, atau tingkat di mana alam semesta kita merenggang.
Konstanta Hubble diambil dari nama seorang astronom, Edwin P. Hubble, yang sempat memukau dunia di tahun 1920-an saat mengkonfirmasi bahwa alam semesta kita mengalami ekspansi sejak 13,7 milyar tahun yang lalu. Di akhir tahun 1990-an, para astronom menemukan bahwa ekspasi alam semesta ini mengalami percepatan, atau semakin melaju seiring waktu. Menentukan tingkat ekspansi merupakan hal penting dalam rangka menentukan usia dan ukuran alam semesta.
Tidak seperti Teleskop Ruang Angkasa Hubble NASA, yang melihat kosmos lewat cahaya nampak, Spitzer memanfaatkan panjang gelombang sinar infra merah untuk membuat pengukuran baru. Kemampuan ini dikembangkan dengan sebuah faktor 3 pada studi seminal yang sama dari teleskop Hubble dan menurunkan ketidakpastian hingga 3 persen, sebuah lompatan besar dalam keakurasian bagi pengukuran kosmologis. Nilai yang baru disempurnakan untuk konstanta Hubble adalah 74,3 plus atau minus 2,1 kilometer per detik per megaparsec. Megaparsec adalah sekitar 3 juta tahun cahaya.
Dengan menggunakan Teleskop Ruang Angkasa Spitzer NASA, para astronom secara luas mengembangkan tangga jarak kejauhan kosmik yang digunakan untuk menghitung tingkat ekspansi alam semesta sekaligus ukuran dan usianya. Tangga jarak kejauhan kosmik, yang secara simbolik ditunjukkan dalam gambar artis ini, merupakan serangkaian bintang dan objek-objek lain dalam galaksi yang jaraknya telah diketahui. (Kredit: NASA/Caltech)
“Spitzer sekali lagi melakukan sains melebihi tujuan teleskop ini dirancang,” kata ilmuwan proyek Michael Werner dari Jet Propulsion Laboratory NASA di Pasadena, California. Warner telah mengerjakan misi ini sejak tahap awal konsep lebih dari 30 tahun yang lalu. “Pertama, Spitzer mengejutkan kita dengan kemampuan pioneernya untuk mempelajari atmosfir exoplanet, dan sekarang, dalam misi tahun-tahun selanjutnya, teleskop ini menjadi alat kosmologi yang berharga.”
Sebagai tambahan, temuan ini dikombinasi dengan data publikasi dari Wilkinson Microwave Anisotropy Probe NASA untuk memperoleh pengukuran yang independen terhadap energi gelap, salah satu misteri terbesar dalam kosmos kita. Energi gelap diduga memenangkan pertarungannya melawan gravitasi hingga merenggangkan alam semesta. Riset berbasis percepatan ini menghasilkan Penghargaan Nobel dalam bidang fisika di tahun 2011.
“Ini adalah teka-teki besar,” kata pemimpin penulis makalah studi, Wendy Freedman dari Observatorium Institut Sains Carnegie di Pasadena, “Sungguh menggairahkan bahwa kami bisa menggunakan Spitzer untuk menjegal masalah-masalah fundamental dalam kosmologi: tingkat akurasi di mana alam semesta mengembang di waktu saat ini, sekaligus mengukur jumlah energi gelap dalam alam semesta dari sudut yang lain.” Freedman memimpin terobosan studi Teleskop Ruang Angkasa Hubble yang sebelumnya mengukur konstanta Hubble.
Glenn Wahlgren, ilmuwan program Spitzer di Markas Besar NASA, Washington, mengatakan bahwa penglihatan infra merah, yang menembus melewati debu untuk menghadirkan pandangan yang lebih baik terhadap bintang-bintang variabel yang disebut cepheid, memungkinkan Spitzer untuk mengembangkan pengukuran konstanta Hubble sebelumnya.
“Bintang-bintang berdenyut itu merupakan anak tangga yang penting dalam apa yang diistilahkan para astronom sebagai tangga jarak kejauhan kosmik: sepaket objek dengan jarak yang telah diketahui, yang mampu  mengungkap laju ekspansi alam semesta apabila dikombinasi dengan kecepatan objek yang bergerak menjauhi kita,” kata Wahlgren.
Cepheid sangat penting untuk dikalkulasi karena jaraknya dari bumi bisa diukur dengan mudah. Di tahun 1908, Henrietta Leavitt menemukan bahwa bintang-bintang tersebut berdenyut pada tingkat yang berhubungan langsung dengan kecerahan intrinsiknya.
Untuk memvisualisasikan kenapa hal ini penting, bayangkan seseorang yang membawa lilin berjalan menjauhi Anda. Semakin jauh lilin melakukan perjalanan, semakin redup cahayanya. Tampilan cahaya itu mengungkap jarak kejauhannya. Prinsip yang sama diterapkan pada cepheid, yang menjadi lilin standar dalam kosmos kita. Dengan mengukur seberapa terang cahayanya di luar angkasa sana, dan membandingkannya dengan kecerahan yang sudah diketahui saat bintang itu mendekat, para astronom mampu menghitung jaraknya dari bumi.
Grafik ini mengilustrasikan hubungan periode-kecerahan cepheid, yang digunakan para ilmuwan untuk menghitung ukuran, usia serta tingkat ekspansi alam semesta. Data yang ditunjukkan berasal dari Teleskop Ruang Angkasa Spitzer NASA, yang telah membuat pengukuran paling akurat terhadap tingkat ekspansi alam semesta dengan mengkalkulasi ulang jarak bintang-bintang berdenyut yang disebut cepheid. (Kredit: NASA/JPL – Caltech/Carnegie)
Spitzer mengobservasi 10 cepheid dalam galaksi Bima Sakti kita dan 80 cepheid lainnya dalam galaksi terdekat yang disebut Large Magellanic Cloud. Tanpa adanya debu kosmik yang menghalangi pandangan, tim riset Spitzer mampu memperoleh pengukuran yang lebih akurat terhadap tampilan kecerahan bintang-bintang tersebut, dan dengan demikian ditemukan pula akurasi jaraknya. Data-data ini membuka jalan bagi taksiran baru dan terimprovisasi pada tingkat ekspansi alam semesta kita.
“Baru lebih dari satu dekade yang lalu, untuk menggunakan kata ‘akurasi’ dan ‘kosmologi’ dalam satu kalimat yang sama merupakan hal yang mustahil, dan ukuran serta usia alam semesta belum diketahui dengan lebih baik daripada sebuah faktor 2,” kata Freedman, “Kini kita bicara tentang akurasi pada beberapa persen. Ini cukup luar biasa.”
Jet Propulsion Laboratory, Pasadena, California, mengelola misi Teleskop Ruang Angkasa Spitzer bagi Direktorat Misi Sains NASA, Washington. Operasi sainsnya dikerjakan di Pusat Sains Spitzer di Institut Teknologi California, Pasadena. Data disimpan dalam gedung Arsip Sains Infra Merah di Pusat Kelola dan Analisis di Caltech. Caltech mengelola JPL bagi NASA. Informasi lebih lanjut tentang Spitzer, kunjungi http://spitzer.caltech.edu dan http://www.nasa.gov/spitzer.
Kredit: NASA/Jet Propulsion Laboratory
Jurnal: Wendy L. Freedman, Barry F. Madore, Victoria Scowcroft, Chris Burns, Andy Monson, S. Eric Persson, Mark Seibert, Jane Rigby. Carnegie Hubble Program: A Mid-Infrared Calibration of the Hubble Constant. The Astrophysical Journal, 2012; 758 (1): 24 DOI: 10.1088/0004-637X/758/1/24

Posting Komentar untuk "Observatorium Infra Merah NASA Mengukur Ekspansi Alam Semesta"